Page

Jumat, 24 Januari 2014

Cuap Banjir untuk Sang Pemimpi(n)


Sobat blogger...dah lamaaaaa (banyak -a- dianggap mewakili kayaknya :p) gak nge-blog nich, kira-kira sudah seumuran balita lah heuheu....
hmmm....mulai dimana yach, baiklah, karena Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sedang menghadapi musibah banjir, ane mau berbagi do'a dulu agar saudara-saudara kita yang sedang berduka tetap tabah dan optimis bahwa 'badai pasti berlalu'...amiiin
Banjir...banjir...banjir itu sih apa? pertanyaan gak mutu, sebelum sendal melayang ke muka x_x, ane ajak sobat blogger merenungkan bait senandung lawas berikut

Aah….! Nya’ banjir!
Jakarta kebanjiran...

 di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor mleduk
Ané jadi gemeteran...
wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran gara-gara got mampet
Aa~ti-ati kompor meledug
Aa~ti ané jadi dag-dig-dug -[heh.. jatuh duduk]-
Aa~yo-ayo bersihin got
Jaa~ngan takut badan blépot
Coba enéng jangan ribut...
jangan padé kalang kabut

 Aarrrgh!!….
(Kompor Meleduk; Benyamin Sueb)

Kenapa banjir terjadi? it's so simple to answer... ya karna hujan lah...hyung...palu godam jatuh dari langit....kah...kah...becanda, gak etis menyalahkan hujan hingga divonis musyrik hi...atut. Apalagi dalam Islam diajarkan bahwa hujan itu rahmat dan dido'akan agar lebat dan bermanfaat....sipks \^o^/
kembali ke laaa...gu (tukul mode on :v)  diatas, almarhum Benyamin S. seolah mengajak kita   'mendengar' kembali bahwa penyebab banjir adalah buah sikap vandalis kita dalam bentuk nyampah sembarangan hingga saluran drainase jadi tak berfungsi sebagaimana diharapkan.
Ngomong-ngomong soal kepedulian, masih hangat gerakan #UnfollowSBY di jagat twitter gegara respon lambat pemerintah pusat hingga pengungsi Sinabung empat bulan lebih bernasib terkatung-katung. Hmm... apa yang salah? Usut punya usut, katanya penanganan Sinabung belumlah domain (bukan domino ya, hehehe) Jakarta, bahasa kerennya ada protokoler yang kudu di patuhi. Tiba-tiba ane merindukan sosok Amirul Mukmin Umar bin Khattab r.a. yang sederhana dan suka ‘blusukan’ di malam hari jauh dari sorot kamera dan puja-puji di dunia maya (waktu itu belum ada sich)
Tentang Susilo Bambang Yudhoyono a.k.a SBY siapa sih yang gak kenal. Jenderal asal Pacitan ini mentereng betul karir militer dan politiknya. Lulus dari Akabri dengan menyandang status lulusan terbaik, SBY seolah telah memancang takdir bahwa di suatu masa dia bakal jadi orang besar di Indonesia.  SBY sempat mengecap jabatan Pangdam dan Kepala Staf Teritorial. Puncaknya ia terpilih secara demokratis lewat pemilihan lansung di kotak suara tahun 2004 dan terpilih kembali tahun 2009. Tapi bukan tentang itu bahasan ane di tulisan ini, maaf ya soale ane bukan penulis biografi hehehe...
Ada hal menarik tentang presiden kita satu ini. Sejak resmi mendapat nomor kendaraan RI-1, SBY seolah akrab dengan bencana. Bencana alam seperti tsunami Aceh tahun 2006, lumpur Lapindo, banjir, gempa bumi dan bentuk lain murka alam mewarnai dua periode pemerintahan beliau. Meski belum tentu ada korelasi antara SBY dan bencana yang sering terjadi, tentu sebagai rakyat kita boleh berpikir ada apa ini.

Memang sih dalam khazanah budaya Jawa dikenal Ramalan Prabu Jayabaya  terdapat frasa “notonogoro”, konon tiap suku kata melambangkan nama akhir tiap Presiden di zaman ini, Soekarno, Soeharto, (B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati dianggap presiden masa peralihan), Susilo Bambang Yudhoyono, katanya lagi di periode “no” kedua banyak terjadi bencana dan Indonesia menyambut zaman keemasannya di bawah kuasa pemimpin bersuku kata akhir “go’.
Ane sih bukan orang yang percaya ramalan, astrologi, tarot atau apalah namanya, kalau dalam Islam yang ane tahu nubuwwah dan itupun hanya manusia sekelas nabi yang punya ‘penglihatan’ tentang masa depan, itupun dengan izin Allah tentunya.
Lalu, mau dibawa kemana hubungan kita? eits tulisan ini maksudnya wkwkwk...tenaaang ane mau menyoroti perilaku elit kita terhadap bencana, khususnya banjir Jakarta, secara ane telah bertahta di ibukota sejak 2011 silam. Kecewa...ya...kecewa melihat pemimpin kita saling lempar tanggung jawab di kala krisis. Padahal ketangguhan seorang pemimpin tercermin dari bagaimana ia mengelola krisis. Jokowi menyalahkan alam dan gubernur terdahulu, SBY malah ‘mengungsi’ ke Bali hadeh.
Bagaimanapun pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Tidak pedulinya kita dengan sampah yang berserakan, got tersumbat, tanpa dosa melanggar lampu merah, berkendara ugal-ugalan, dan panjang lagi daftar dosa ‘biasa’ kita. Jadi rasanya wajar Indonesia diberi pemimpin sekualitas rakyatnya, ingat pemimpin adalah wajah kita, tul gak?




Banjir kali ini merupakan batu ujian kepemimpinan baik Jokowi maupun SBY. Jokowi yang berada di atas angin dalam bursa pencapresan mestinya bisa merealisasikan janji kampanye tahun 2012. Bisa jadi investasi positif kalau mau terjun dalam pertarungan capres mendatang. SBY tentunya ingin khusnul khatimah, tugas meletakkan dasar pemindahan ibukota yang sekarang sudah sesak karena menanggung banyak beban ekonomi, sosial dan industri mesti di muluskan SBY kalau ingin dikenang sebagai presiden sukses.
Menutup tulisan ini ane kutip potongan syair Kang Ebiet G Ade yang menemani penggodokan tulisan ini

Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau
alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang

Kost-Kantor, ditemani rinai hujan

Kamis, 27 Januari 2011

Reformasi Konstitusi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia

Sumberdaya adalah sesuatu yang memiliki nilai guna. Sumberdaya alam adalah keseluruhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang membentuk lingkungan sekitar kita. sumberdaya alam menurut Hunker (1964 dalam Cutter, dkk, 2004) adalah semua yang berasal dari bumi, biosfer, dan atmosfer, yang keberadaannya tergantung pada aktivitas manusia. Semua bagian lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan, tanah, air, udara, matahari, sungai) adalah sumberdaya alam.

Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumberdaya alam yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara megabiodiversity. Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia. Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 1994, terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indonesia memiliki tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah Brazil.

Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.

Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya didunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasific, yaitu diperkirakan 1,148,400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 spesies), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.

Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81,000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Sedangkan lautan biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang,dan organisme terumbu karang yang lain.

Semua kekayaan ini jika dimanfaatkan dengan bijak tentu akan membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai guna atau manfaat suatu sumberdaya tergantung pada berbagai konteks ekonomi, politik, dan budaya. Cara manusia memanfaatkan sumberdaya alam terus berkembang dari waktu ke waktu. Diawali dengan cara berburu dan meramu sampai dengan pemanfaatan berbagai teknologi terkini yang terus berkembang. Dari sekedar mencukupi kebutuhan dasar pada periode waktu tertentu sampai dengan pemenuhan kebutuhan melampaui kebutuhan dasar manusia, berikut penumpukan sumberdaya alam untuk waktu yang tak terbatas. Upaya manusia beradaptasi dengan alam untuk survive serta keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia di antara besarnya kebutuhan manusia yang tak terbatas pada akhirnya mendatangkan kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan.

Perlindungan sumber daya alam dari eksploitasi rakus tangan-tangan tak bertanggungjawab melaui undang-undang wajib dilakukan. Namun kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah memberikan temuan mengejutkan. Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Menurut guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda. Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.

Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan. Dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu. Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta.

Menilik fakta di atas perlu dilakukan reformasi konstitusi untuk memberi kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Dalam hal ini DPR berperan besar untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.
Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. Hal ini diperparah oleh egosektoral yang tercermin pada UU. Masing-masing departemen/kementerian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. Pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Bentuk pengarustamaan ini bisa semakin konkrit jika RUU Pengelolaan SDA segera disahkan DPR.

Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan sumberdaya alam.

Jumat, 17 Desember 2010

Aktivis (Lembaga) Mahasiswa Bersatulah sebuah catatan kecil

Pada dasarnya lembaga kemahasiswaan adalah sarana aktualisasi diri mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa sebagai elite minority beruntung mendapatkan pendidikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat kebanyakan. Di kampus mereka menerima dan mencari ilmu yang sesuai dengan disiplin studi masing-masing. Akan tetapi, disiplin ilmu yang mereka tekuni tidaklah cukup untuk menciptakan keparipurnaan dalam diri mereka. Untuk itu mahasiswa dipandang perlu untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang mengejewantah dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang merupakan lembaga kemahasiswaan resmi di kampus.
            Fungsi ormawa sebagai sarana aktualisasi diri ini hendaknya dicamkam oleh aktivis mahasiswa-begitu mereka menyebut diri- sebelum memutuskan beraktivitas di lembaga kemahasiswaan tertentu. Hal ini perlu disadari karena menjadi pegiat ormawa tidak digaji dan tanpa paksaan. Jika nawaitu-nya sudah benar diyakini mahasiswa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berkiprah di lembaga di lembaga kemahasiswaan karena masa di kampus singkat dan tidak terulang kedua kali seumur hidup.
            Berbicara tentang konsep lembaga kemahasiswaan yang ideal ada baiknya kita menengok sedikit ke belakang. Sebelum Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus  (NKK/BKK) diberlakukan oleh rezim otoritarian Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, lembaga kemahasiswaan sangat powerful. Senat Mahasiswa memiliki pengaruh besar dan ditakuti karena gencar mengkritik penguasa bahkan meminta Soeharto mundur. Pasca NKK/BKK sampai sekarang, gerakan mahasiswa dilembagakan dan kampus diberi kuasa penuh mengontrol organisasi mahasiswa. Dampaknya, gerakan mahasiswa terkekang birokrasi kampus. Semua ormawa bertanggung jawab pada Wakil/Pembantu Rektor/Dekan bidang kemahasiswaan. Untuk bisa bekerja,keuangan ormawa diberikan dengan sistem Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Masalah timbul karena sistem ini menjustifikasikan ormawa melakukan tindak manipulatif. Praktik ini tidak bisa dihindari karena sistem SPJ mengharuskan mereka mereka-reka rancangan anggaran belanja.
            Seiring perjalanannya, ormawa di kampus berkembang ke dalam dua faksi: ormawa yang bersifat politis, seperti:Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Himpunan  Mahasisawa Jurusan (HMJ) dan ormawa yang bersifat kekaryaan atau minat bakat yang menjelma dalam bentuk Unit-unit Kegiatan Mahasisawa (UKM). Dalam perkembangannya, kadang terjadi tumpang tindih program antar ormawa. Hal ini dapat dipahami karena tiap-tiap ormawa memiliki keleluasaan mengembangkan program kerja masing-masing. Kondisi ini menurut hemat penulis dapat diatasi dengan meningkatkan koordinasi serta memaknai kembali peran dan fungsi ormawa. 
            Sekalipun antara BEM/HMJ dengan UKM tidak terdapat hubungan yang saling mengikat, namun tidak berarti diantara mereka nihil kepentingan sama sekali. Keduanya merupakan mitra strategis. Sebaiknya BEM/HMJ dengan UKM sering berkoordinasi menyangkut program kerja. Karena  BEM/HMJ memiliki 'beban lebih' selaku wakil mahasiswa bisa saja program kerja yang bersifat kekaryaan dilimpahkan ke UKM, sementara BEM/HMJ cukup menjadi sponsor saja. Beban lebih ini adalah tuntutan  aktivis BEM/MPM/HMJ yang harus menjadi social control. Seringkali kebijakan kampus  dan  kebijakan pemerintah terhadap masyarakat memanggil mereka untuk memberikan perhatian dan keterlibatan. Mereka harus terbiasa dengan diskusi publik, debat sosial politik, bahkan demonstrasi. Hal yang kadang dihindari bahkan menjadi 'alergi' bagi mahasiswa biasa.
            Koordinasi teratur dan rutin antar ormawa hendaknya terus dilakukan. Sekalipun tidak terikat secara hierarkis, kebijakan-kebijakan strategis kampus yang bersinggungan  dengan mahasiswa kadang tidak cukup dipikirkan oleh ormawa 'politis' semata. Egosentrisme ormawa harus dikikis jika terdapat permasalahan kampus yang menuntut perhatian dan keterlibatan bersama.
Paris van Java, Medio Desember 2010
           

Sabtu, 22 Mei 2010

Mahasiswa Baru dan Kesadaran Berpolitik di Kampus


Mahasiswa adalah sekelompok elit masyarakat yang mendapat pendidikan di atas rata-rata masyarakat awam. Sekalipun diidentikkan sebagai minoritas elit tetapi seorang mahasiswa haruslah sadar bahwa tidak ada waktu baginya berleha-leha apalagi berpikir pada koridor masalah klasik nan sepele. Atmosfer yang harus dibangun dikalangan mahasiswa adalah dialektika intelektual yang mengedepankan solusi dan membahas masalah-masalah yang lebih bersifat substansial.
Membaca Harian Singgalang Edisi Minggu 16 Agustus 2009 berjudul “Ketika Mahasiswa Baru jadi Objek Politik Senior”, penulis merasa ‘tergelitik’ memberikan tanggapan atas tulisan diatas yang menurut hemat penulis bersifat sentimental (berlebih-lebihan) dan menyebarkan pragmatisme sempit yang akhirnya tidak membuahkan hal-hal yang solutif malah lebih bersifat menghasut dan berbau SARA.
Dalam tulisannya sang penulis yang anonim (tidak mencantumkan nama) telah melakukan segmentasi mahasiswa di kampus ke dalam mahasiswa forum, kafe, dan netral. Kemudian ada senior baik, senior usil dan senior pura-pura. Entah parameter apa yang digunakan beliau untuk mengkotak-kotakkan mahasiswa. Bagaimanapun kenyataan di lapangan tidak seekstrim yang ditulis beliau. Sepanjang pengamatan penulis, mahasiswa forum (mungkin maksudnya aktivis/pegiat lembaga dakwah kampus) ada juga yang memakai celana jeans atau celana gunung dan banyak juga mahasiswa kafe (barangkali mahasiswa jenis ini tidak sempat pulang makan dan menunggu pertukaran jam kuliah dikedai atau kafe) yang berpakaian necis dengan celana bahan dan kemeja dimasukkan ke dalam. Tetapi bak pepatah Inggris don’t judge a book by its cover (sebuah buku janganlah dinilai dari sampulnya saja). Tentu sangat tidak cerdas menilai mahasiswa dari tampilan fisiknya semata. Penulis lebih tertarik membahas tesis bahwa mahasiswa baru telah dijadikan objek politik para senior.
Kaum intelektual muda (mahasiswa) menurut Ong Kok Ham, kemunculannya bukan merupakan sesuatu yang baru di panggung sejarah politik Indonesia. Mahasiswa dianggap sebagai golongan yang sedang terintegrasikan ke dalam dunia politik dewasa. Di kampus mahasiswa belajar politik secara mandiri (diluar mahasiswa fakultas FISIP) sehingga muncullah ‘republik mahasiswa’, ’majelis perwakilan mahasiswa’, ‘presiden mahasiswa’ dan lainnya. Layaknya sebuah negara maka ‘negara mahasiswa’ yang demokratis pastilah menjamin keragaman ideologis di antara ‘rakyatnya’ (mahasiswa). Karena itu pembagian mahasiswa ke dalam kelompok forum, kafe dan netral adalah dangkal dan insubstansial.
Ideologisasi gerakan mahasiswa terlihat dari organ-organ gerakan mahasiswa yang mengusung ideologi tertentu. Misal: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII-Islam tradisionalis ala NU), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI-Islam moderat ala komunitas Tarbiyah), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-nasionalis sekuler), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI-Kristen Nasionalis), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND-sosialis kiri) dan sebagainya.
Dalam rangka mewujudkan demokratisasi kampus, istilah demokrasi di kampus bermakna “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa”, karena itu seleksi kepemimpinan di kampus harus dilakukan lewat cara-cara yang demokratis. Kita patut mengapresiasi kampus-kampus yang telah melakukan pemilihan raya (pemira) mahasiswa dalam pemilihan entah itu mahasiswa yang hendak duduk di legislatif maupun eksekutif. Pemira memungkinkan dilibatkannya segenap unsur mahasiswa ketimbang musyawarah besar atau kongres yang biasanya dilakukan di ruangan tertutup dan menutup peluang setiap individu mahasiswa berpartisipasi.
Menurut Max Weber pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi dapat dibentuk. Kepemimpinan yang diperoleh lewat karismatis dan tradisional sudah bukan zamannya lagi. Pemimpin legal-rasional yang lahir lewat merit system menjadi pilihan tepat saat ini. Untuk melahirkan pemimpin perlu adanya sistem kaderisasi. Peran dominan kelompok ideologis mahasiswa tertentu dalam percaturan politik kampus tak perlu ditanggapi secara sinis apalagi sarkastis. Keberhasilan mereka (forum atau kafe, netral atau memihak) memperoleh kedudukan di lembaga mahasiswa kampus dipastikan adalah hasil kaderisasi yang matang dan terencana.
Bagi mahasiswa baru memasuki kampus merupakan dunia berbeda. Peralihan dari masa remaja ke masa dewasa awal menjadikan mereka ibarat gelas kosong. Gelas kosong ini siap diisi dengan ragam ‘minuman’ pemikiran dan ideologi di kampus. Keadaan ini tentu dimanfaatkan organ pergerakan mahasiswa untuk menjaring kader-kader baru yang akan menerima estafet kepemimpinan. Mahasiswa baru diharapkan tidak gamang mendengar fenomena ini karena Anda adalah calon intelektual yang pasti punya sense of choice. Ibarat menyeleksi uang kertas, lakukanlah “lihat, raba dan terawang”. Tidak bisa dipungkiri pemimpin nasional lahir dari rahim dari organ pergerakan mahasiswa kampus maupun ekstra kampus. Semisal Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Rama Pratama dan Anas Urbaningrum dari golongan politisi serta Warsito, (akademisi ITB kandidat penerima Nobel), Andrinof A. Chaniago dan Taufik Abdullah dari kalangan cendekiawan dan akademisi.
Menyikapi dinamika mahasiswa di kampus, R. Andriadi Achmad (2007) membagi mahasiswa ke dalam empat tipe atau tipologi mahasiswa. Pertama, tipe mahasiswa berhasil dalam perkuliahan, ditandai dengan Indeks Prestasi (IP) tinggi serta aktif dan berhasil dalam berbagai organisasi. Tipe ini berada di puncak piramida dan langka ditemukan. Kelompok pertama ini merupakan tipe ideal bagi mahasiswa, orang tua dan masyarakat. Universitas Andalas (Unand) adalah perguruan tinggi pertama di Sumatera yang menganugerahkan Bintang Aktivis Mahasiswa kepada lulusannya yang memilki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi dan memilki kredit poin di berbagai organisasi kemahasiswaan. Langkah Unand ini perlu ditiru oleh perguruan tinggi lain untuk menghargai soft skill yang diperoleh mahasiswa dengan berorganisasi. Hal ini menjadi penting mengingat ilmu berorganisasi tidak pernah dipelajari secara khusus di bangku perkuliahan.
Kedua, tipe mahasiswa biasa-biasa dalam perkuliahan, dicirikan dengan indeks prestasi sedang serta aktif dan berhasil dalam berbagai oeganisasi. Mahasiswa tipe kedua pada piramida ini, bukan kurang pandai atau mampu dalam perkuliahan. Akan tetapi, kebanyakan mahasiswa tipe ini, belum mampu menguasai atau me-manage waktu antara kuliah dan organisasi secara pofesional dan proporsional.
Ketiga, tipe mahasiswa berhasil dalam perkuliahan, mempunyai karakteristik IP tinggi, tetapi tidak terlibat dalam organisasi. Mahasiswa ini menempati urutan ketiga dalam piramida. Kerap dijuluki mahasiswa rumahan, belajar menjadi santapan setiap waktu dan lebih senang di rumah ketimbang membangun tata pergaulan di tengah-tengah kehidupan kampus maupun masyarakat.
Keempat, tipe mahasiswa memprihatinkan bahkan gagal dalam perkuliahan. IP pas-pasan bahkan gagal serta tidak aktif dalam organisasi menunjukkan mahasiswa lapis terbawah piramida ini. Mahasiswa tipe ini kerapkali membangun citra buruk mahasiswa di tengah-tengah masyarakat. Bahkan siap menambah deretan panjang angka pengangguran.
Nah, mahasiswa baru silakan memilih, akan berada di mana posisi Anda. Selamat datang intelektual muda!